Kamis, 31 Maret 2016

HAL-HAL YANG MERAGUKAN



Cinta itu ada persentasenya. Gak mungkin kita bisa mencintai 100%. Sama seperti kita suka Sate dan Bakso gak mungkin kan sukanya 50% sate, 50% bakso. Nanti Nasi padangnya protes. Prioritas adalah kuncinya. Mengapa saya mencoba untuk menjaga agar tidak terlampau mencintai? Agar ketika saya mencintai namun ditolak gak menyebabkan saya sakit hati, putus asa, kecewa dan lan-lain. Jadi teringat kata saudara saya Akh Leswadi “jika kita berharapnya pada manusia, kita pasti kecewa. Karena tak ada manusia yang sempurna.”

Saya benar- benar ingin menikah. Namun ketika mengamati kemampuan financial saya, saya pun menjadi ragu. Saya hanyalah alumni yang ditugaskan untuk menimba ilmu di Jogja. Setelah lulus saya harus kembali ke Jayapura. Satu hal yang penting untuk diketahui. Saya tidak punya apa-apa di Jayapura. Ketika kembali saya harus memulai dari awal lagi. Mencari tempat tinggal, keperluan sehari-hari, motor. Untuk kost di Jayapura yang termurah Rp.800.000 per bulan. Motor bekas mungkin sekitar Rp. 6.000.000. Ongkos pulang ke Jayapura 2.500.000. Ongkos ngirim buku saya yang berkardus-kardus bisa sampai dua jutaan.

Saya tahu, kondisi saya saat ini sulit. Sulit sekali untuk menikah. Saya bukan orang yang berkecukupan. Tidak ada backup keluarga. Sulit bagi saya untuk menjelaskan kondisi orang tua saya. Saya pun juga punya kewajiban untuk membiayai sekolah adik saya. So… Saya jadi punya kekhawatiran. Saya tidak bisa membahagiakan istri. Saya takut nafkah yang saya berikan tidak mencukupi kebutuhan istri.

Jika ada wanita yang menolak karena laki-lakinya terlalu minder, gak papa. Saya memang apa adanya seperti ini. Saya mencari wanita yang bisa menjadi penyemangat saya, penentram hati saya, dan penguat saya dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.

Jika kita berjodoh, Allah pasti mempertemukan. Jika memang tidak berjodoh, kita akan menemukan kebahagiaan kita masing-masing. Tak ada jaminan karena saya mencintaimu hidup kita akan bahagia. Gak ada yang tahu seperti apa rencana Allah.

Kemungkinan 80% saya akan menikah setelah kembali ke Jayapura.

Senin, 21 Maret 2016

كُنْ أَنْتَ

لِأُجَارِيْهِمْ، قَلَّدْتُ ظَاهِرَ مَا فِيْهِمْ
فَبَدَوْتُ شَخْصاً آخَرْ، كَيْ أَتَّفَاخَر
وَ ظَنَنْتُ أَنَا، أَنِّي بِذَلِكَ حُزْتُ غِنَى
فَوَجَدْتُ أَنِّي خَاسِر، فَتِلْكَ مَظَاهِر
لَا لَا
لَا نَحْتَاجُ الْمَالَ، كَيْ نَزْدَادَ جَمَالًا، جَوْهَرْنَا هُنَا، فِي الْقَلْبِ تَلَالًا
لَا لَا
نُرْضِي النَّاسَ بِمَا لَا، نَرْضَاهُ لَنَا حَالًا، ذَاكَ جَمَالُنَا، يَسْمُو يَتَعَالَى
كُنْ أَنْتَ تَزْدَدْ جَمَالاً
أَتَقَبَّلْهُمْ، النَّاسُ لَسْتُ أُقَلِّدُهُمْ
إِلَّا بِمَا يُرْضِينِي، كَيْ أُرْضِينِي
سَأَكُوْنُ أَنَا، مِثْلِي تَمَامًا هَذَا أَنَا
فَقْنَاعَتِي تَكْفِينِي، ذَاكَ يَقِينِي

سَأَكُونُ أَنَا، مَنْ أَرْضَى أَنَا، لَنْ أَسْعَى لَا لِرِضَاهُمْ
وَأَكُونُ أَنَا، مَآ أَهْوَى أَنَا، مَالِي وَمَا لِرِضَاهُمْ
سَأَكُونُ أَنَا، مَنْ أَرْضَى أَنَا، لَنْ أَسْعَى لَا لِرِضَاهُمْ
وَأَكُونُ أَنَا، مَآ أَهْوَى أَنَا ، لَنْ أَرْضَى أَنَا بِرِضَاهُمْ

حمود الخضر

TIDAKKAH KITA RINDU



Rindu ….
Orang bilang rindu adalah karunia
Orang bilang rindu itu tanda cinta
Tidakkah kita rindu?

Cinta
Kasih Sayang
Tanggung jawab
Komitmen
Atau jangan-jangan sekedar menuntut kebebasan

Ataukah kita lupa bahwa tubuh kita terdiri dari jasad dan ruh
Lalu kita kita menjadi makhluk egois
Sedang ruh ini selalu rindu untuk kembali pada penciptanya
Hanya ia tertahan oleh tubuh kita

Kita bilang bahwa dunia ini hanya tempat mampir
Akhirat adalah tempat kembali
Lalu tidakkah kita rindu pada perjumpaan dengan Allah
Ataukah kita tak rindu berjumpa dengan manusia mulia
Yang di akhir nafasnya menyebut nama kita “ummati-ummati”

Mengapa kita menjadi egois, saling curiga, saling menuduh
Bisa jadi orang yang kita tuduh merasa paling benar hanyalah
Orang-orang yang meyakini bahwa yang dilakukannya adalah benar.
Kita katakan ia ahlul bid’ah. Padahal ia hanya berniat menyebar syi’ar

Kita katakan ia orang yang suka mengkafirkan.
Padahal tak ada kata kafirpun yang ia lontarkan pada saudaranya.
Ia hanya membagi apa yang baru ia ketahui.

Kita katakan ia membahayakan negara,
Padahal ia lebih banyak menebar manfaat pada masyarakat
Kita katakan ia mencuri uang negara.
Padahal ia menjaga agar kekayaan negara tidak dicuri.

Kita katakan ia riya’ dengan memamerkan amal. Padahal bisa jadi yang kita lihat hanya sebagian kecil amal mereka. Sedang kita menjadi manusia penghakim seakan tahu isi hati manusia.
Kita katakan ia haus kekuasaan. Sedangkan kita hanya menjadi pengkritik dan termakan fitnah. Sedang mereka jauh lebih menyiapkan segala kualitas untuk mengambil peran dalam mengurus negara.

Kita katakan ia perusak ideology negara. Padahal ia hanya mengingatkan bahwa dulu khilafah pernah ada. Jika tak ada mereka, kita tak pernah membuka lembaran sejarah.
Padahal kata Bung Karno Jangan Pernah Melupakan Sejarah

Tidakkah kita rindu?
Negeri yang adil, makmur
Tidakkah kita rindu?
Semua orang yang ada disekitar kita adalah saudara kita
Tidakkah kita rindu?
Keluarga yang qur’ani, cinta Illahi. Bukan penuntut kebutuhan duniawi
Tidakkah kita rindu?
Anak-anak yang selalu mendoakan kita setelah kita mati.

Andai jika hari ini kita ditanya
Jawaban apa yang sudah kita siapkan?

Tidakkah kita rindu???
Aku takut kita kehilangan cinta
Aku takut kita lupa bahwa kita pasti kembali.


                                                                                                                        Saif Zulfikar Ali

DUHAI TULANG RUSUKKU, AKU MASIH ANAK DARI IBU DAN AYAHKU






Ketika akad kuucapkan, akulah penanggung hidupmu
Akulah penjagamu wahai tulang rusukku
Akulah yang bertanggung jawab atas dunia dan akhiratmu
Akulah penerus tanggung jawab dari ayahmu

Duhai Tulang rusukku
Setelah kau jadi istriku
Semua kebutuhanmu adalah tanggung jawabku
Semua nafkah dariku itu untukmu

Namun istriku
Aku masih anak ayah dan ibuku
Aku masih bertanggung jawab pada mereka
Aku masih bertanggung jawab atas keperluan mereka

Ketika kau meminta baju baru
Disaat itu kulihat Ayahku memakai baju lusuh
Maafkan aku jika aku lebih mengutamakan ayahku
Ketika kau meminta jilbab baru
Disaat itu kulihat mukenah ibuku yang telah bolong
Maafkan aku jika aku lebih mengutamakan ibuku

Ketika kau meminta izin pulang ke rumah orang tuamu namun tidak kuizinkan
Bukan karena tidak mau
Aku butuh waktu untuk siap bertemu dengan orang tuamu
Untuk mengatakan aku telah membahagiakanmu
Bahwa aku telah menjadi penerus amanah ayahmu yang baik

Jika nafkahku tak memenuhi semua keinginanmu
Bersabarlah tulang rusukku
Lakukanlah apapun yang kau sukai
Kembangkanlah potensimu
Namun jaga marwahku sebagai Qowam bagi dirimu.

Karya : Saif Zulfikar Ali

TAPI JANGAN SAYA







Sadar atau tidak sadar kita menjadi orang-orang seperti ini.
Mungkin kita pernah berdoa, Ya Allah semoga makin banyak orang yang mendapat hidayah. Mudahkanlah perjuangan dakwah saudara-saudara kami di sana.
Lalu ketika ada ajakan dakwah yang datang untuk ke sana jawabannya “jangan saya”.

Atau mungkin kita punya teman yang pernah memuji.
sungguh beruntung orang yang akan menjadi istrimu/suamimu.”
Tapi lagi-lagi kalimat sambungannya “tapi jangan saya”.

Atau kita pernah berdoa berikanlah pemimpin yang adil, yang jujur. Namun ketika ada ajakan atau tawaran amanah untuk menjadi pemimpin lagi-lagi jawabannya :”jangan saya”.
Dan yang berdoa agar mendapat suami/istri yang mencintai dirinya apa adanya.
Namun ketika khitbah itu datang pun jawabnya “Jangan saya”.

Yang lebih Aku khawatirkan adalah ketika kita berdoa meminta Syurga.
Ketika kita akan dimasukkan dalam syurga kita masih berkata “Jangan Saya”



Saif Zulfikar Ali



Antara kepemilikan dan pengelolaan.

Ini cuma analisis pribadi.

Saya teringat mata pelajaran ekonomi kelas I SMA dahulu. Ibu guruku mengatakan “apakah kalian ingin menjadi pemilik Mall yang besar?” Kami menjawab “Iya”.
Ada yang tahu caranya? Tanya ibu guru lagi.
Kami menjawab “beli tokonya.”
Mahal” jawab bu guru. “Kalian cukup membeli sahamnya. Sedikit demi sedikit. Misalnya kalian membeli saham 1% dari SAGA MALL. Maka kalian adalah pemilik 1% dari SAGA MALL. Tiap tahun pemilik saham mendapat Deviden. Ya bagi hasil keuntungan lah gitu.
Bayangkan jika kalian adalah pemilik 90% saham dari sebuah perusahaan.

Dalam dunia pendidikan pun demikian. Antara pemilik lembaga dan pengelola hariannya. Ketua sekaligus pemilik yayasan misalnya. Bayangkan jika kebijakan antara pemilik dan pengelola berbeda? Begitupun di perusahaan kebijakan pemegang saham jika berbeda dengan kebijakan pengelola tentunya akan membahayakan perusahaan.

Pertanyaannya seberapa pentingnya kepemilikan itu? Monggo bayangkan jika perusahaan di Indonesia seluruh modal di danai asing. Banyak investor asing. Jika dari 100% saham, 75%nya adalah investor asing? Siapa pengendali kebijakan? Jika rakyat Indonesia yang bertindak sebagai pengelola coba pikirkan kita memajukan perusahaan siapa yang diuntungkan?, namun jika kita bekerja dengan buruk, siapa yang di PHK?

Rang kaya dan orang pintar seharusnya punya satu visi. Mau tahu problemnya? Lulusan terbaik perguruan tinggi di Indonesia banyak yang memiliki penemuan-penemuan baru. Tapi apakah ada perusahaan yang tertarik untuk melakukan produksi masal? Lalu bagaimana jika yang berani memodali dan memproduksi justru dari asing, lalu apa daya kita kehilangan jati diri bangsa. Indonesia butuh orang-orang kaya yang peduli pada produk dalam negeri. Ada sebuh impian bahwa siatu saat Indonesia akan memiliki pabrik di luar negeri yang buruhnya adalah warga negara tersebut. Aku tak ingin Indonesia bagaikan negeri pengekspor pekerja jasa, jadi buruh di negeri lain.

Aku bukanlah pakar ekonomi, bahkan aku tak pandai berdagang. Aku hanya berbagi apa yang aku tahu sekedarnya. Dan ingat. Mereka mengatakan kami mengelola perusahaan. Hal yang sering terlupa bahwa mereka pun mengelola manusia. Dan dalam mengelola kumpulan manusia harus berprinsip pada asas-asas kemanusiaan.

Senin, 07 Maret 2016

BUKAN HABIBI AINUN



Pernah nonton Habibi Ainun?
Romantis ya?
Yuk kita analisis.
Apa yang dilakukan Habibi di Jerman? Kuliah sambil Kerja
Berapa Jarak Indonesia-Jerman? Hitung sendiri ya!
Justru lebih dekat Jogja-Jayapura kan.
Berapa ongkos PP Indonesia – Jerman ketimbang Jogja-Jayapura?
Itu sebabnya Pak Habibi sangat mencintai Bu Ainun.
Seorang wanita yang mau menyertai Suaimnya bertugas di tempat yang jauh. Apa yang dilakukan pak Habibi ketika lulus. Ia merasa ilmu yang ia peroleh harus bermanfaat buat negerinya, buat bangsanya. Itu sebabnya ia ingin pulang. Namun tahu apa yang dilakukan pak Habibi di Jerman, ia berkarya, mengembangkan teknologi di Jerman. Ilmuan-ilmuan Jerman mengakuinya.

Sepertinya Fase saya kini adalah fase mencari siapa sosok ainun bagi diri saya walaupun saya jauh sekali jika mau dibandingkan dengan pak Habibi.
Pak Habibi melamar ainun dalam kondisi sederhana apa adanya. Begitupun aku. Nothing back up from my parents. So……. Siapa ?

ANGKOT NGETEM



Saya memang baru 1 tahun lebih di Jawa. Tapi ini tentang pengalaman saya tentang angkot yang ngetem. Alasan klasiknya adalah ngejar setoran. Eit…. Sabar, biar enak perbandingannya saya cerita dulu kisah saya di jayapura.

Malam minggu bagi jomblo seperti saya tentu ngenes banget. Saya ngekos berlima. Ada 2 mahasiswa stain, 2 mahasiswa uncen dan 1 sopir angkot. Sulit dijelaskan bagaimana persaudaraan ini bisa bermula. Namun kita bahas tentang sopir angkot. Saya berani bersumpah naik angkot yang paling enak itu di Jayapura. Sumpah. Apalagi jika angkotnya masih baru, mulus dan wangi. Karena di Jayapura gak ada Taxi yang umumnya berupa mobil sedan, atau mobil mewah lainnya. Maka angkot dengan mobil merk Suzuki Carry ini biasa dipanggil Taxi. Yang keren adalah ketika angkot ini baru dibeli dari dealer, masih asli gak ada yang diganti kursinya, alias kursinya masih menghadap ke depan. 7 penumpang itu sudah cukup. Inilah transportasi favorit saya sejak SD sampai Kuliah.

Soal setoran, teman saya itu sebut saja Jabar (bukan nama sebenarnya), per hari harus menyetorkan 100.000 per hari kepada Bosnya. (Ini sebelum saya ke Jogja, gak tahu sekarang berapa). Jabar yang baik hati dan peduli, selalu membantu saya, kadang saya juga dengerin curhatnya, padahal dia lebih tua dari saya. Beberapa kali saat malam minggi saya nemani dia narik angkot, saya jadi kondektur sukarela. Tapi kalau ditraktir makan nasi telor ya, maulah saya. 7 orang, masing-masing bayar 3.000 berarti jika penuh, Jabar dapat 21.000. untuk setoran setidaknya dia harus 5 kali bolak-balik angkot dalam keadaan penuh. Belum termasuk bensin. Biasanya Jabar ngisi 50.000. selebihnya baru bisa ia nikmati sendiri. Jadi kalau Jabar butuh uang 200.000 maka ia harus dapat 350.000. Berarti berapa kali bolak-balik? Minimal 16 kali bolak balik. Syukur kalau penuh, seringnya malah gak penuh. Pernah juga saya mengalami berdua kami dorong mobil angkot malam-malam karena kehabisan bensin. Sumpah. Tapi hal yang enak ketika saya omongin ke Jabar. “Mas, rejekimu itu di jalan, mau gak mau cara kamu jemput rejeki ya dengan bergerak, jalan.” Alhamdulillah Jabar mau terus berjuang. Setidaknya saya dapat pengalaman berharga bersama dia.

Beda lagi dengan di semarang. Di daerah Sukun dimana biasanya Bis menurunkan penumpang, di situ saya mendapat pengalaman sopir yang ngetem. Diem, nunggu penumpang penuh baru jalan. Rasanya pengen deh nasehatin dengan kata-kata yang sama, tapi gak mungkin kan. Kenal aja kagak. Ngetemnya nyampe setengah jam. Gila. Kadang saya pengen ninggalin atau turun saja, tapi saya gak tega. Soalnya saya juga mengerti sulitnya supir angkot. Pernah ada ibu-ibu yang nyelutuk “mas jadi jalan gak”. Eh sopirnya malah marah. “Yo wes, kalau ra sabar mudun wae.” Spontan saya dan semua penumpang turun. Kosong, momplong. Saya agak berjalan agak jauh dan menyetop angkot yang lewat. Saya tanya “bapak gak ikut ngetem?” tahu apa jawabnya? Jawabannya “rejeki Allah yang ngatur, yang penting jalan terus, yakin di pinggir jalan pasti ada penumpang.” Ternyata Angkot di Semarang modelnya miring hadap-hadapan kalau full muat 14 orang. Gila…..! Penumpang kan juga butuh kenyamanan.

Kadang kita menjadi orang-orang yang khawatir. Seakan rejeki kita hanya di situ. Berbeda jika itu merupakan tanggung jawab. Misal Polisi di tugaskan kemana-mana. Ia harus menjalani, karena ada beban amanah di situ bukan sekedar megngais rejeki. Aku mungkin belum berjiwa wirausaha, tapi yang berjiwa wirausaha gak kan khawatir dimanapun ia berada. Siapa yang mau menemani saya ke Jayapura? Kebetulan saya ada tugas Negara di Jayapura.