Senin, 04 Mei 2015

Ketika Rasa Cinta Itu Menggoda



Pada umumnya orang ingin menikah dengan orang yang dicintainya. Lalu mereka mencari cinta diantara manusia untuk di bawa ke mahligai rumah tangga. Tidak salah memang. Namun apa jadinya jika seseorang sibuk memikirkan apakah dia jodohku? ketimbang apakah itu yang baik untuk agamaku?

Ya memang diantara 4 hal yang sudah familiar di telinga kita bahwa seseorang menikah karena harta, latar belakang keluarganya, fisiknya, dan agamanya. Kita mungkin akan sibuk mencari yang sholeh/sholihah ketimbang mensholihkan diri, dan cinta di awal bukan menjadi penentu keberhasilan rumah tangga.

Menjelang usia 26 tahun, aku yang berada di perantauan yang sedang menuntut ilmu di kota pelajar hampir setiap hari di-sms oleh bapakku. Isinya tentang rahasia pernikahan. Bapak ingin mengajarkan bahwa pernikahan butuh persiapan yang lebih penting bukan asal cinta. Yaitu tujuan pernikahan, apa yang akan dilakukan setelah menikah, masa depan anak-anak. Minimal itu.

Sedikit butuh kecerdasan emosi. Pagi itu 30 April 2015 jam 7.00 WIB saya sempat membaca makalah kawan saya tentang kecerdasan emosi. Saya pun berpikir jika emosi bisa di kelola dengan kecerdasan emosi maka seharusnya cinta pun bisa dikelola secara cerdas. Cinta yang terlalu dalam tertanam dan terlalu lama hingga ia berbuah bahkan berbunga sebelum menikah bukan hal mudah untuk menebangnya. Walaupun sudah di tebang, karena akarnya belum tercabut pohon tersebut belum mati. Mematikan pohon yang sudah di tebang memang tidak langsung mati ia butuh proses pengabaian selama bertahun-tahun. Maka benar kata teman-teman Maidany : “Tuhanku berikanku cinta yang kau titipkan bukan cinta yang kutanam.

Saya teringat kawan saya Ustadz Abdul Wahid, Si. musyrif di Ma’had SMAIT Abu Bakar Yogyakarta. Waktu kami nyuci pakaian bareng sambil ngobrolin soal cinta. Beliau mengatakan “menikahi orang yang dicintai itu sah-sah saja. Tetapi mencintai orang yang dinikahi wajib hukumnya.”

Coba bayangkan sebuah organisasi yang menghimpun banyak orang tidak memiliki visi dan misi. Pasti manajemennya amburadul. Bagaimana jika keluarga yang terdiri dari suami dan istri juga memiliki dewan penasehat orang tua dan mertua lalu menghasilkan anak-anak tanpa visi dan misi. Seperti apa keluarga akan dibangun. Keluarga tidak hanya dibangun oleh satu emosi namun dari banyak emosi. Maka sangat memungkinkan hard skill dan soft skill juga diperlukan.

Maka jika cinta mulai menggoda. Ingatlah visi kita. Beda karakter itu biasa namun beda visi gak mungkin bisa solid dalam membangun cinta. 

Seorang Jomblo dalam Pencarian Ilmu
Di bawah sinar cerah Asrama Darul Hikmah Sapen
30 April 2015
Saif Zulfikar Ali