Pada umumnya
orang ingin menikah dengan orang yang dicintainya. Lalu mereka mencari cinta
diantara manusia untuk di bawa ke mahligai rumah tangga. Tidak salah memang.
Namun apa jadinya jika seseorang sibuk memikirkan apakah dia jodohku? ketimbang
apakah itu yang baik untuk agamaku?
Ya memang
diantara 4 hal yang sudah familiar di telinga kita bahwa seseorang menikah
karena harta, latar belakang keluarganya, fisiknya, dan agamanya. Kita mungkin
akan sibuk mencari yang sholeh/sholihah ketimbang mensholihkan diri, dan cinta
di awal bukan menjadi penentu keberhasilan rumah tangga.
Menjelang usia
26 tahun, aku yang berada di perantauan yang sedang menuntut ilmu di kota
pelajar hampir setiap hari di-sms oleh bapakku. Isinya tentang rahasia
pernikahan. Bapak ingin mengajarkan bahwa pernikahan butuh persiapan yang lebih
penting bukan asal cinta. Yaitu tujuan pernikahan, apa yang akan dilakukan
setelah menikah, masa depan anak-anak. Minimal itu.
Sedikit butuh
kecerdasan emosi. Pagi itu 30 April 2015 jam 7.00 WIB saya sempat membaca
makalah kawan saya tentang kecerdasan emosi. Saya pun berpikir jika emosi bisa
di kelola dengan kecerdasan emosi maka seharusnya cinta pun bisa dikelola
secara cerdas. Cinta yang terlalu dalam tertanam dan terlalu lama hingga ia
berbuah bahkan berbunga sebelum menikah bukan hal mudah untuk menebangnya.
Walaupun sudah di tebang, karena akarnya belum tercabut pohon tersebut belum
mati. Mematikan pohon yang sudah di tebang memang tidak langsung mati ia butuh proses
pengabaian selama bertahun-tahun. Maka benar kata teman-teman Maidany : “Tuhanku
berikanku cinta yang kau titipkan bukan cinta yang kutanam.”
Saya teringat
kawan saya Ustadz Abdul Wahid, Si. musyrif di Ma’had SMAIT Abu Bakar
Yogyakarta. Waktu kami nyuci pakaian bareng sambil ngobrolin soal cinta. Beliau
mengatakan “menikahi orang yang dicintai itu sah-sah saja. Tetapi mencintai
orang yang dinikahi wajib hukumnya.”
Coba bayangkan
sebuah organisasi yang menghimpun banyak orang tidak memiliki visi dan misi.
Pasti manajemennya amburadul. Bagaimana jika keluarga yang terdiri dari suami
dan istri juga memiliki dewan penasehat orang tua dan mertua lalu menghasilkan
anak-anak tanpa visi dan misi. Seperti apa keluarga akan dibangun. Keluarga
tidak hanya dibangun oleh satu emosi namun dari banyak emosi. Maka sangat
memungkinkan hard skill dan soft skill juga diperlukan.
Maka jika cinta
mulai menggoda. Ingatlah visi kita. Beda karakter itu biasa namun beda visi gak
mungkin bisa solid dalam membangun cinta.
Seorang
Jomblo dalam Pencarian Ilmu
Di
bawah sinar cerah Asrama Darul Hikmah Sapen
30
April 2015
Saif
Zulfikar Ali