Saya lupa persis tanggalnya
tetapi saat itu Bulan Ramadhan 1425 H/2005 M. Saya juga lupa sekalian
untuk meralat tulisan saya sebelumnya. Lapas itu kelas IIA bukan IA
Abepura. Saat itu lapas untuk penanggulangan kasus narkoba belum ada
jadi semua narapidana se-kota dan kabupaten Jayapura numpuk di sana.
Saya lupa persisnya jumlah narapidana saat itu. Jumlah yang beragama
Islam sekitar 60-an. Mungkin pembaca bingung, saya berbuat kejahatan
apa bisa sampai di sana? Hehehe…. Kita lanjutkan cerita ketika di
masjid yang lalu.
Saat itu sekelompok
mahasiswa muslim yang biasanya disebut aktivis dakwah kampus sedang
mentoring. Saya ikut nimbrung. Ternyata orang yang sedang memberikan
mentoring kepada adik tingkatnya itu adalah sekretaris Lembaga Dakwah
Kampus dari sebuah kampus yang sangat terkenal di Kota Jayapura. Saya
diajak untuk mengikuti safari ramadhan LDK di Lapas Abepura. Kenapa
saya bilang di part 1 saya hanya sebentar di sana, ya karena saya
hanya mengikuti safari Ramadhan LDK tersebut padahal saya masih SMA.
Dan saya gak nginap ya.
Rasa penasaran melimuti diri
saya ketika memasuki gerbang pertama lapas Abepura. Terbayang oleh
saya napinya sangar-sangar, seram-seram, sipir penjaranya juga
kejam-kejam. Ternyata tidak juga. Saya yang waktu itu ikut
kakak-kakak LDK memasuki pintu kecil yang hanya berukuran 1,5 x 0,5
m. Lalu mengisi buku kunjungan, menitipkan Hp, tas kami diperiksa dan
kami diberi kartu kunjungan. Kata sipirnya “dek, kartunya jangan
sampai hilang, kalau hilang kamu nginap disini.”
Memasuki pintu kedua kami
memperlihatkan kartu kunjungan lalu kami melewati pagar besi yang
tinggi ditemani sipir penjara memasuki wilayah warga binaan. Saya
melihat taman yang indah, bunga-bunga berwarna-warni. Kami terus
mengikuti sipir sampai tiba di masjid. Nama masjidnya bagus sekali.
Masjid At-Tarbiyah yang artinya pendidikan atau pembinaan. Istilah
napi saat itu sudah mulai diperhalus dengan istilah warga binaan.
Memang disini mereka seharusnya di bina agar menjadi baik. Mungkin
mereka jahat sebelumnya namun mereka butuh kesempatan untuk berubah.
Saya duduk dengan seorang
anak muda, bercerita bersama. Salah satunya paham dengan ilmu agama.
Saya antusias mendengarkan obrolan. Lalu acara Safari Ramadhan dan
buka puasa bersama di mulai. Saya baru tahu bahwa yang tadi ngomong
adalah salah satu napi di sana ketika namanya dipanggil oleh Mc. Dia
yang membaca Al-Qur’an dan subhanallah bacaannya bagus banget.
Sambutan-sambutan hingga pada waktu ceramah. Yang ceramah adalah
Ustadz Abdul Majid. Saya masih ingat benar isi ceramahnya. Surah
Al-Imran ayat: 133-136.
“Dan bersegaralah
kamu kepada ampunan dari
Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”,
(yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan
dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai,
sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala
orang-orang yang beramal.
Ada kisah tentang pembunuh
99 orang yang ingin bertaubat. Dikisahkan seorang pemuda bertemu
seorang pemuka agama untuk curhat tentang kegelisahan artinya. Ada
niat untuk berubah. Ada harapan agar Allah mengampuni dosa-dosanya.
Didatangi pemuka agama tersebut, ia sampaikan apa yang sudah
dilakukan. Ia bertanya apakah Allah mau menerima taubatnya? Pemuka
agama tersebut menjawab bahwa dosa membunuh adalah dosa benar.
Terlalu banyak dosanya. Allah tidak akan mengampuni. Pembunuh ini
merasa kesal dan malah membunuh pemuka agama tadi maka genaplah 100
orang. Lalu didatangi pemuka agama yang lain dengan pertanyaan yang
sama. Namun jawabannya berbeda. Jawaban yang menyejukkan hati. “Allah
maha penerima taubat selama hambanya ingin berubah menjadi lebih
baik. Namun jika engkau masih di sini aku khawatir engkau akan
kembali pada dosa lamamu. Di sana ada sebuah kampung orang yang
sholih-sholih. Pergilah ke kampung itu dan ikuti apa yang mereka
kerjakan.”
Kita tahu cerita selanjutnya
pemuda ini mati di tengah perjalanan dan Allah mengampuninya,
menerima taubatnya atas langkah-langkahnya memulai perubahan pada
kebaikan. Posisi pemuda ini bukan lagi pada niat namun sudah pada
tahapan tekad. Ia sudah memulai langkahnya pada perubahan.
Ustadz Abdul Majid
menyampaikan agar kita merubah cara pandang kita. Pemuka agama yang
pertama melihat pemuda tersebut pada sisi pendosa namun pemuka agama
yang kedua melihat pada sisi taubatnya. Sebuah dadu akan memiliki
makna yang berbeda tergantung dari sisi mana ia dilihat. Ada yang
bilang angka 1 ada yang bilang angka 6 tergantung sisi dadu sebelah
mana yang ia lihat. Begitupun tentang cara kita memandang diri kita
sendiri dan diri orang lain. Berpikirlah bahwa saya orang yang banyak
salah dan perlu banyak bertaubat. Mengapa banyak bertaubat karena
kita sebagai manusia sering lalai, lupa sehingga bisa berbuat dosa
baik sadar maupun tidak sadar. Bahkan setelah selesai sholatpun kita
beristighfar. Padahal sholat itu ibadah lo. Karena sholat kita pun
masih banyak lalainya. Kadang tidak khusyuk, rukuknya kurang benar,
lupa rokaat atau malah lupa sholat.
Jujur dalam hati saya, semua
orang berpotensi salah karena dalam diri manusia ada nafsu plus juga
mendapat godaan syaitan dari luar. Bedanya mungkin kita aja yang
selamat oleh Allah masih menghirup udara bebas. Tapi mereka apes,
ketahuan, dilaporkan, dituntut dan dipenjara. Memang jalan hidup tiap
orang berbeda-beda. Saya pun masih teringat kata-kata Aa’ Gym yang
terpatri dalam diri saya “kita dibilang baik bukan karena kita
baik, tetapi Allah yang baik karena menutupi aib kita”. Kita tidak
ada bedanya dengan mereka. Hamba Allah juga kan?
(bersambung…..)
Nantikan Part 3.
Golongan-golongan Syaitan