Kamis, 02 April 2015

Antara CINTA, MOVE ON dan BERKELUARGA



Tidak ada yang mengajarkan pada saya bahwa laki-laki harus sukanya dengan perempuan. Ketika SMP saya baru belajar tentang kisah Nabi Luth As bahwa rasa suka saya terhadap perempuan itu fitrah justru bahaya jika saya menyukai sesama laki-laki.

Mungkin diantara ikhwan saya orang yang dikatakan ikhwan lebay, ikhwan galau atau sejenisnya. Mungkin lebih baiknya saya belum pantas di sebut ikhwan. Saya gak enak jika ikhwan ada embel-embelnya seperti itu. Mengapa saya lebih sering minta nasehat kepada ummahat. Jawabannya sebenarnya karena saya mengalami masa baligh tanpa ibu. Biar bagaimanapun sosok seorang ibu memiliki nilai tersendiri dibanding seorang bapak.

Saya yang tidak memahami rasa cinta mengikuti model cinta-cintaan di televisi. Istilah kerennya pacaran. Itu terjadi di awal SMA. Sejak di SMA saya ngaji bareng teman lalu meninggalkan yang namanya pacaran. Usia rawan bagi laki-laki ternyata ada 2. Di usia 16-18 tahun dimana rasa ingin pacaran lagi menggebu-gebunya dan usia 22-23 tahun dimana rasa ingin menikah sedang menggebu-gebunya.

Saya lulus dari godaan 16-18 tahun tapi kalah di usia 21-22 tahun. Disaat harusnya menikah saya malah pacaran. Saya akui ini salah. Tapi Allah membawa saya kembali dalam rel dakwah itu. Kembali pada hal-hal yang penting. Ambil hikmahnya jangan ulangi kesalahannya. Saya menemukan beberapa peristiwa dimana ketika bapak mantan saya patah kakinya, saya buatkan kursi yang bolong tengahnya agar mudah ketika BAB. Saya juga pernah membuatkan rak buku untuk Ibunya. Padahal saya bukan tukang yang handal. Gergaji saja masih miring-miring.

Jika mungkin ada wanita yang bertanya apakah kamu mau memandikan ayah saya? Jangankan mandikan, nyebokin juga saya mau. Jika ada wanita memiliki kekurangan fisik bertanya apa kamu tidak malu berjalan bersama saya? Saya punya kawan yang kekurangan fisik dan saya tidak malu. Bahkan ada teman saya yang kekurangan akhlak, saya juga tidak malu. Cinta yang sempurna tidak menuntut fisik yang sempurna. Saya tidak malu berteman dengan siapa saja. Saya pernah mempunyai teman seorang Hafidzah yang tuna netra. Ia kawan mengajar saya di TPA saat saya masih mahasiswa.

Saya pun sebenarnya memiliki kekurangan di tangan kanan karena pernah patah. Otot tangan kiri saya lebih besar dari tangan kanan. Kaki kiri saya lebih panjang 1 inci dari pada kaki kanan. Mata kiri saya -0,75 dan yang kanan -0,5. Saya pun hitam gendut. Saya orang yang keras kepala tetapi bertutur lembut.

Ust Salim A Fillah bilang: Tetapi cinta tidak menuntut untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilahkan. Mengambil kesempatan dalam artian keberanian melamar. Mempersilahkan dalam artian mengikhlaskan ia menjadi milik orang lain.   

Memiliki keluarga memang merupakan impian semua orang. Namun yang aku dambakan ialah keluarga yang barokah. Keluarga yang menjadi bagian dari takwinul ummah (pembentukan ummat). Ia diawali dari sebuah visi dakwah yang sama. Yang dipikirkan bukan hanya tentang bagaimana keluarga ini setelah menikah namun apa peran keluarga ini bagi dakwah. Akankah anak-anak ini juga menjadi anak yang sholeh.

Saya akui saya termasuk orang yang lola (loading lambat), lambat memahami. Proses mikirnya lama. Karena banyak benturan dengan pemikiran-pemikiran lain. Ketika kawan-kawan saya sudah sampai level ats tsiqah saya masih di al fahm. Di kota ini saya belajar dan di tanah kelahiran saya, saya akan berperan. Di sini saya bertekad untuk meningkatkan kualitas diri dalam segala hal yang mampu saya lakukan.

Move on, bukan tentang buru-buru mencari pacar baru seperti yang dipikirkan para remaja. Move on ialah bangkit dan tidak mengulangi kesalahan yang sama bukan orang yang sama. Move on dari pacaran ya sudah jangan pacaran. Move on ialah berkarya. Berkarya membuat maslahat-maslahat yang baru. Membuat kreasi baru. Membuat prestasi baru. Move on ialah awal dari kebangkitan. Move on ialah semangat membuat kehidupan yang lebih baik untuk akhirat yang lebih baik..

“cukuplah kesalahan-kesalahan itu sebagai pelajaran”
“cukuplah sanksi itu sebagai latihan kesabaran”
“cukuplah senyum itu sebagai pemicu semangat”
“Cukuplah Allah bagiku yang mencukupkan kehidupanku dengan segala nikmat-Nya”


Yogayakarta, 3 April 2015
Saif Zulfikar Ali