Tidak ada yang
mengajarkan pada saya bahwa laki-laki harus sukanya dengan perempuan. Ketika
SMP saya baru belajar tentang kisah Nabi Luth As bahwa rasa suka saya terhadap
perempuan itu fitrah justru bahaya jika saya menyukai sesama laki-laki.
Mungkin
diantara ikhwan saya orang yang dikatakan ikhwan lebay, ikhwan galau atau
sejenisnya. Mungkin lebih baiknya saya belum pantas di sebut ikhwan. Saya gak
enak jika ikhwan ada embel-embelnya seperti itu. Mengapa saya lebih sering
minta nasehat kepada ummahat. Jawabannya sebenarnya karena saya mengalami masa
baligh tanpa ibu. Biar bagaimanapun sosok seorang ibu memiliki nilai tersendiri
dibanding seorang bapak.
Saya yang tidak
memahami rasa cinta mengikuti model cinta-cintaan di televisi. Istilah kerennya
pacaran. Itu terjadi di awal SMA. Sejak di SMA saya ngaji bareng teman lalu
meninggalkan yang namanya pacaran. Usia rawan bagi laki-laki ternyata ada 2. Di
usia 16-18 tahun dimana rasa ingin pacaran lagi menggebu-gebunya dan usia 22-23
tahun dimana rasa ingin menikah sedang menggebu-gebunya.
Saya lulus dari
godaan 16-18 tahun tapi kalah di usia 21-22 tahun. Disaat harusnya menikah saya
malah pacaran. Saya akui ini salah. Tapi Allah membawa saya kembali
dalam rel dakwah itu. Kembali pada hal-hal yang penting. Ambil hikmahnya
jangan ulangi kesalahannya. Saya menemukan beberapa peristiwa dimana ketika
bapak mantan saya patah kakinya, saya buatkan kursi yang bolong tengahnya agar
mudah ketika BAB. Saya juga pernah membuatkan rak buku untuk Ibunya. Padahal
saya bukan tukang yang handal. Gergaji saja masih miring-miring.
Jika mungkin
ada wanita yang bertanya apakah kamu mau memandikan ayah saya? Jangankan
mandikan, nyebokin juga saya mau. Jika ada wanita memiliki kekurangan fisik
bertanya apa kamu tidak malu berjalan bersama saya? Saya punya kawan yang
kekurangan fisik dan saya tidak malu. Bahkan ada teman saya yang kekurangan
akhlak, saya juga tidak malu. Cinta yang sempurna tidak menuntut fisik yang
sempurna. Saya tidak malu berteman dengan siapa saja. Saya pernah mempunyai
teman seorang Hafidzah yang tuna netra. Ia kawan mengajar saya di TPA saat saya
masih mahasiswa.
Saya pun
sebenarnya memiliki kekurangan di tangan kanan karena pernah patah. Otot tangan
kiri saya lebih besar dari tangan kanan. Kaki kiri saya lebih panjang 1 inci
dari pada kaki kanan. Mata kiri saya -0,75 dan yang kanan -0,5. Saya pun hitam
gendut. Saya orang yang keras kepala tetapi bertutur lembut.
Ust Salim A
Fillah bilang: Tetapi cinta tidak menuntut untuk menanti. Ia mengambil
kesempatan atau mempersilahkan. Mengambil
kesempatan dalam artian keberanian melamar. Mempersilahkan dalam artian mengikhlaskan
ia menjadi milik orang lain.
Memiliki
keluarga memang merupakan impian semua orang. Namun yang aku dambakan ialah
keluarga yang barokah. Keluarga yang menjadi bagian dari takwinul ummah
(pembentukan ummat). Ia diawali dari sebuah visi dakwah yang sama. Yang
dipikirkan bukan hanya tentang bagaimana keluarga ini setelah menikah namun apa
peran keluarga ini bagi dakwah. Akankah anak-anak ini juga menjadi anak yang
sholeh.
Saya akui saya
termasuk orang yang lola (loading lambat), lambat memahami. Proses mikirnya
lama. Karena banyak benturan dengan pemikiran-pemikiran lain. Ketika
kawan-kawan saya sudah sampai level ats tsiqah saya masih di al fahm. Di kota
ini saya belajar dan di tanah kelahiran saya, saya akan berperan. Di sini saya
bertekad untuk meningkatkan kualitas diri dalam segala hal yang mampu saya
lakukan.
Move on, bukan
tentang buru-buru mencari pacar baru seperti yang dipikirkan para remaja. Move
on ialah bangkit dan tidak mengulangi kesalahan yang sama bukan orang yang
sama. Move on dari pacaran ya sudah jangan pacaran. Move on ialah berkarya.
Berkarya membuat maslahat-maslahat yang baru. Membuat kreasi baru. Membuat
prestasi baru. Move on ialah awal dari kebangkitan. Move on ialah semangat
membuat kehidupan yang lebih baik untuk akhirat yang lebih baik..
“cukuplah
kesalahan-kesalahan itu sebagai pelajaran”
“cukuplah
sanksi itu sebagai latihan kesabaran”
“cukuplah
senyum itu sebagai pemicu semangat”
“Cukuplah Allah
bagiku yang mencukupkan kehidupanku dengan segala nikmat-Nya”
Yogayakarta, 3
April 2015
Saif Zulfikar
Ali