Sering di bully di kelas. Ya
sejak aku menginjakkan kaki di Yogyakarta dan kuliah di prodi PGMI S2
Konsentrasi PAI. Kami sekelas ada 16 orang. Namun satu kawan kami
harus pulang kampung untuk menikah. Ternyata setelah menikah ia lulus
CPNS dan hamil. Maka iapun tidak melanjutkan kuliah. Sampai saya
menuliskan ini kami ber-15 orang sekelas dengan jumlah laki-laki
hanya tiga orang.
Hampir semua teman-teman
sudah punya pujaan hati kecuali saya yang diam-diam hanya menjadi
pemuja rahasia. Ia yang diam-diam kusukai pun sudah punya pujaan
hati. Ia pun mengenalkan aku dengan seorang mahasiswa S1. Saya
mengikuti sarannya. Saya pun berkenalan dengan mahasiswa S1 itu. Ia
baik, perhatian namun pada satu titik ia bosan. Saya mengutarakan
bahwa saya menginginkan istri yang bisa diajak tinggal bersama saya
di Jayapura. Namun rupanya ibunya yang menolak. Entah mengapa ia
bosan.
Ada beberapa kata yang saya
sangat sensitif mendengarnya. Saya benci dengan anda, saya kecewa
dengan anda, saya bosan dengan anda. Jika ada yang mengatakan hal
ini, saya akan menghilang dari hadapannya dan jangan harap saya akan
muncul lagi di depan anda. Saya lebih mentoleran kalimat, kamu kok
gitu, jangan gitu, coba kamu gini, seharusnya begini kerena jika ada
kata benci, kecewa, bosan maka itu saya anggap statement terakhir
anda.
Saya selama di Jogja belum
pernah mengatakan saya suka kamu, saya cinta kamu, saya ingin
melamarmu, semua itu masih tersimpan rapi dalam hati. Walaupun kadang
perilakuku tidak. Saya berharap bisa mengajaknya ke Jayapura. Saya
Cuma ingin memberitahu bahwa Jayapura pun lebih gemerlap daripada
Jogja. SDMnya yang perlu dibangun. Bahkan saya bingung. Jika saya
ditolak karena Jayapura itu jauh. Lalu bagaimana caranya dakwah ini
bisa sampai merata, atau pendidikan ini bisa sama majunya namun tidak
ada yang mau ke Indonesia Timur. Mau bilang gerakan Indonesia
mengajar atau gerakan apapun kalau Cuma temporer apa manfaatnya.
Katanya ingin madrasah tidak
dipandang sebelah mata tapi ketika ada peluang untuk berjuang.
Mungkin bukannya tidak ingin berjuang namun tidak ingin berjuang
bersama saya. Saya lebih senang jika ada yang terus terang bilang
maaf saya tidak mencintai kamu ketimbang maaf saya gak bisa diajak ke
Papua. Terlalu naif. Saya terlahir di Jayapura. Saya terbiasa dengan
sifat orang timur yang tidak basa-basi.
Saya tidak tahu. Sampai
kapan dibully sama teman-teman yang dah nikah duluan. Bersabar
menerima banyak penolakan. Ah…… Saya hanya berharap ada hikmah
nantinya. Bukan saya yang gagal. Saya hanya belum menemukan orang
yang sesuai. Saya hanya belum menemukan pasangan yang tepat. Apalagi
untuk orang yang semesterius saya.
Pernah nonton Take me Out?
Orang yang mematikan lampunya tidak bisa menyalakan lampunya lagi.
Awalnya saya berharap dia
mau bertanya-tanya tentang saya, tentang papua, tentang perkembangan
pendidikan Islam disana. Apakah saya akan sering pulang ke Jawa atau
tidak. Padahal saya juga punya rumah di Jogja. Bagi saya mudah untuk
bisa bolak-balik Jayapura-Jawa. Allah pasti ngasih jalan. Tapi
terlalu cepat keputusan yang diambil. “Aku gak bisa dibawa ke
Jayapura” Padahal aku belum ngomong. Gak papalah.
Terimakasih untuk yang sudah
menolak, Saya tidak akan mencintai kalian lagi sampai kapanpun.
Saya hanya menganggap kalian
teman sekedarnya.