Saya termasuk
orang yang termasul “Lola” istilah yang sering dipakai di kotaku
Jayapura yang berarti loading lambat. Mungkin sama dengan istilah
“telmi” atau telat mikir. Ya kejadiannya sedikit berbeda dengan
teman-teman seangkatan bahkan adik tingkat yang sudah berkeluarga dan
nimang momongan sedang diri ini masih masuk jadi anggota “jojoba”
alias jomblo-jomblo bahagia. Atau mungkin cenderung “JONES” alias
jomblo ngenes.
Ingat ketika
mabit selalu di buly sama ustadz “antum tu golongan miskin, karena
belum punya nutrisi dakwah”. Padahal Allah menyuruh menikah maka
akan dikayakan. Lagi-lagi ini tentang pemaknaan. Ada sebuah kisah
suami yang selalu memaafkan semua kesalahan istrinya padahal umumnya
istri rada cerewet. Suaminya mengatakan “maafkan mas yang belum
bisa menjadi suami yang baik bagimu. Sungguh karena 1 hal saja bagi
mas itu adalah kebaikan yang besar bagi mas. Adanya dirimu menjadi
pelindung bagi mas dari dosa zina.”
Atau kisah
nyata yang pernah diceritakan seorang ustadzah di Yogyakarta yang
dahulu mengiginkan suami seorang dosen maka ia dipertemukan dengan
seorang dosen halaqah (bukan dosen beneran). Ia berharap suaminya
adalah yang selalu membimbingnya namun ternyata suaminya baca qur’an
aja masih belum sahih. Hingga suatu saat ia sampaikan keluhan itu
ketika telah menyesak di dada. Apa jawab sang suami. “Abi memang
bukan suami ideal, Abi hanya berusaha menjadi suami yang Islami.
Temani abi! Ummi. Agar abi benar-benar menjadi yang terbaik buat
ummi. Menetes air mata sang istri.
Tak ada yang
ideal memang. Teringat akan kesalahan dahulu. Ya Allah. Ampunilah
hamba yang selalu menggap indah kenangan hamba dahulu sedangkan itu
adalah maksiat. Ampunilah hamba yang kadang tergoda ingin
mengulanginya lagi. Ya Allah! Ampunilah hamba yang belum mampu
membenci apa yang Engkau benci dan mencintai apa yang Engkau cintai.
Ya Rabb, jangan jadikan kenangan dahulu menjadi hijab bagiku untuk
mendapat keridhoanmu. Berikanlah yang pantas bagiku. Aamiiin.
Kita lanjutkan.
Sungguh indah bagi seorang laki-laki yang mampu curhat dengan ibunya
tercinta. Seorang ibu yang sholihah mampu melihat pancaran wajah dari
seorang wanita yang sholihah. Firasat seorang ibu sering tepat. Itu
yang aku tak punya. Mencari jawaban sendiri dalam sujud-sujud panjang
di malam hari. Ketika harus berkomunikasi dengan bapak jawaban
simpelnya cukup belajar dari dua kali pernikahan bapak. Cinta bukan
tentang romantisme saja. Ada tanggung jawab yang besar.
Ya benar. Pak
Mario Teguh pernah bilang seindah apapun, seheroik apapun kisah
cintamu tidak akan bernilai apa-apa jika tidak sampai dalam hubungan
pernikahan. Pak Mario teguh memang tidak secara eksplisit melarang
pacaran. Namun tentang laki-laki yang harus lebih punya visi. Maka
dalam setiap trainingnya dalam MTGW pertanyaan kepada laki-laki kapan
anda mapan dan kapan anda menikah?
Ini tentang
visi masa depan. Dalam pemahaman para aktivis dakwah. Visi yang baik
bermula dri hati yang bersih. Itu sebabnya hubungan-hubungan semisal
pacaran dilarang. Ini tentang tazkiyatun nafs. Hubungan yang baik
dimulai dengan hati yang bersih. Lalu kesamaan visi. Bedanya umumnya
orang berbicara tentang visi punya anak, punya rumah, punya motor,
punya mobil. Saya tidak menafikan. Bapak saya pun berpesan demikian.
Sebagai anak pertama yang diharap menjadi contoh, yang menjadi
panutan, yang diharapkan menjadi tulang rusuk keluarga. Ya… Ada
pikiran-pikiran yang sedikit membebani.
Setibanya saya
di Kota Yogyakarta saya meniatkan diri menjadi orang yang lebih baik.
Inilah lapis-lapis keberkahan. Walaupun merasa seperti mengulangi
kehidupan di tahun 2006 dan terjerembab di tahun 2010 ketika
menjelang tugas akhir. Sepertinya Allah menguji lagi dengan hal yang
sama menjelang aku harus menyelesaikan Tesisku di tahun 2015 ini.
Ya…. Aku takut cinta ini muncul di saat yang salah.
Selalu
kuupayakan mengedepankan logikaku. Menikah bukan tentang romantisme
saja namun tentag hidup jangka panjang. Aku bukan sosok yang sholih
banget, yang banyak paham ilmu agama, bukan pula orang yang pintar,
hanya ingin menebar kebaikan dan memperbaiki diri. Saya bukan orang
kaya, belum pandai berbisnis, mengejar akademik, mencintai dunia
mengajar, penelitian, dan jalan-jalan.
Keluarga yang
kudambakan ialah keluarga tarbiyah. Yang sama-sama mau belajar. Mau
saling menghormati, saling mencintai, saling memahami, saling
menyimak bacaan Al Qur’an, saling berkata lembut, saling
meneguhkan. Saya orang yang mudah ditegur dengan senyuman ketimbang
dengan sindiran. Saya orang yang terbuka. Saya pun berniat
melanjutkan S3 saya di Malaysia insya Allah. Tentang anak-anak
jadikan keluarga ialah madrasah yang menyenangkan. Ini yang saya
inginkan. Rumah adalah tempat tinggal yang menentramkan. Memiliki
anak adalah bagian dari pelanjut perjuangan dakwah. Jangan terlalu
berpikir yang berat-berat tentang dakwah. Kadang ada hal yang berat
dipikir namun mudah ketika di jalani. Menjaga anak-anak agar jangan
sampai tidak mau berdakwah karena takut tidak punya waktu untuk
keluarga.
Namun 1 hal
lagi. Prinsip ini belum berlaku bagi bapakku. Pesannya lulus S2,
pulang bawa Ijazah bukan buku nikah, Jadi dosen yang punya NIP. Baru
boleh nikah. Ya…. Untuk S2nya insya Allah saya nurut lah. Tapi
PNSnya mungkin saya punya cara lain. Seperti dahulu dilarang kuliah
saya punya cara lain agar bisa kuliah. Saya yakin Allah pasti akan
membukakan jalan.
Ada kesimpulan
yang saya buat sendiri. “orang yang jelas-jelas saling mencintai
pun belum tentu berjodoh” Biarkan cara-cara Allah yang bekerja
hingga cinta itu terbagun dalam mahligai yang diridhoinya. Andai
dahulu saya memaksakan cinta. Berapa banyak yang tersakiti, berapa
bayak yang membenci. Berapa banyak hubungan yang awalnya baik menjadi
rusak. Bukankah cinta yang ini bukan cinta yang diridhoi Allah. Saya
bersyukur di Kota ini Allah membukakan tabir yang selama ini tidak
saya pahami. Dan ini tidak terlepas dari doa antum sekalian dalam doa
rabithah kalian.
Terimakasih
atas dekapan ukhwah dan khusnudzon antum semua:
Ust. Dadi
Waluyo, ust. Sunardi, Ust. Habib Ziyadi, Ust. Rifki, Ust. Sudarsono,
Ust. Bambang, Ust. Andi Setyawan, Ust. Isnain, Akh Rahmat, Akh Amin
Sururi, Akh. Kaim Djali, Akh. Bukhori, Akh. Azwar, Akh. Mujaeni, Akh.
Heri, Akh. Ustho, Akh Firdaus (maafkan aku yang tidak amanah dulu
ketika menjadi jundimu), Akh. Andi Irwin, Akh. Bahaudin Amin, Akh.
Didik, Akh Henri, Akh. Khoirudin, dan semua ikhwan yang ada di
Yogyakarta, Khususnya yang di SMAIT Abu Bakar Yogyakarta, KMC UIN
Sunan Kalijaga dan KAMMI komsat UIN Sunan Kalijaga. Ada Ust. Aris
Nurkholis, Ust. Dudi, Akh Ilman, Akh Fadli, Akh Sulaiman, Akh Wahid,
Akh Arif Hidayat, Akh Utsman Sayyaf. Temanku yang dari Krapyak Akh.
Ahmad Yusron. Juga sahabat seperjuangan dari Jayapura Gazali, Sugimin
dan Novita Mulyanita.